Praktek Perekonomian Indonesia
Dewasa ini pembahasan tentang sistem perekonomian Indonesia begitu ramai diperbincangkan. Baik pada tatanan teori makro dalam konteks ekonomi negara ataupun tingkat mikro yang paling sederhana yaitu ekonomi rumah-tangga. Kemunculan suatu sistem ekonomi dalam penyelenggaraan negara, akan selalu terkait dengan sistem ekonomi yang muncul sebelumnya pada setiap priode pemerintahan yang menjalankan proses penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan idiologi perekonomian Indonesia yang tak lepas dari pengaruh kapitalisme dan sosialisme yang berkembang pada setiap priode pemerintahan.
Walaupun dalam tatanan konstitusional diamanatkan sistem ekonomi Indonesia adalah ekonomi kerakyatan atau terkadang disebut dengan ekonomi pancasila, namun dalam tatanan prektek perekonomian Indonesia yang berjalan saat ini terdapat tiga sistem ekonomi yaitu ekonomi kerakyatan, ekonomi liberal dan ekonomi kemitraan.
Sistem ekonomi kerakyatan diwujudkan dalam bentuk kebijakan dan program untuk mengurangi kemiskinan, perluasan kesempatan kerja, peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan dan peningkatan taraf hidup masyarakat melalui prinsip pemeratan pembangunan.
Sistem ekonomi liberal sebagai idilogi besar yang berkembang di dunia mau-tidak-mau akan tetap mempengaruhi Indonesia dalam memasuki perekonomian Internasional. Indonesia yang telah masuk dalam sistem perdagangan internasional dengan menandatangani berbagai perjanjian antara lain : AFTA, WTO dan APEC yang mengakibatkan perbatasan negara, arus barang, uang dan informasi bergerak lebih leluasa sebagai bagian dari pasar bebas. Di Indonesia pun saat ini menjamur berbagai perusahaan asing yang mengembangkan usahanya di Indonesia baik melalui pasar modal maupun secara langsung mendirikan anak perusahaannya di Indonesia.Selain itu, system ini juga ditandai dengan adanya perusahaan perusahaan publik milik negara yang go public.
Diantara praktek ekonomi kerakyatan dan ekonomi liberal terdapat sistem ekonomi kemitraan yang merupakan jalinan yang menjembatani pelaksanaan kedua sistem tersebut. Praktek sistem ini adalah adanya kerjasama antara usaha-usaha berbasis kelompok seperti koperasi yang bermitra dengan perusahaan-perusahaan besar antara lain melalui sub kontrak, wara laba dan inti plasma di sektor agribisnis. Melalui kemitraan tersebut kerjasama yang saling menguntungkan dan berkeadilan berusaha diwujudkan agar tidak terjadi ketimpangan akibat pengaruh sistem ekonomi liberal yang menumbuhkan penguasaan atas sumber daya ekonomi pada segelintir pengusaha melalui penguasaan kepemilikan saham..
Dalam kerangka pembangunan nasional tentunya ketiga system tersebut pada intinya mengarah pada satu jujuan yaitu bagaiman kesejahteraan orang perorang ataupun masyarakat dapat meningkat melalui peningkatan pendapatan dengan cara meningkatkan produksi dan jasa pada setiap perusahaan atau usaha dalam berbagai tingkatan.
Mencermati Sistem Perekonomian Nasional
Mencermati praktek sistem perekonomian di Indonesia menunjukan bahwa sistem perekonomian nasional menerapkan sistem perekonomian campuran antara ekonomi kerakyatan, ekonomi liberal dan kemitraan. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan dimana ketiga sistem ekonomi tersebut secara bersamaan dilaksanakan oleh para pelaku usaha di Indonesia.
Namun dilihat dari kondisi eksisting dan praktek yang dihadapi sebagian besar terkait pada para pelaku usaha sekala mikro dan kecil yang umumnya juga tergolong dalam usaha berbasis kelompok, termasuk koperasi. Bertitik tolak dari tafsir Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 serta Tap MPR No. XVI/MPR/1998 maka secara konstitusional sistem perekonomian nasional menempatkan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajad hidup orang banyak dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Subtansi dari pelaksanaan sistem ekonomi ini secara garis besar mencangkup partisipasi, penguasaan dan distribusi. Partisipasi, di implementasikan melalui peran seluruh anggota masyarakat dalam mewujudkan perekonomian nasional dengan melaksanakan pemberdayaan dan pengembangan seluruh potensi pelaku usaha untuk terlibat aktif dalam pembangunan perekonomian Indonesia, masyarakat tidak hanya menjadidi objek tetapi juga subjek dalam pembangunan. Penguasaan, diimplementasikan melalui peningkatan aktivitas produksi baik barang maupun jasa yang menguasai hajad hidup orang dibawah penguasaan pemerintah. Negara wajib mewujudkan iklim usaha dan perlindungan bagi bagian terbesar pelaku usaha di Indonesia. Sedangkan distribusi, diimplementasikan melalui proses dan hasil produksi yang terdistribusi secar berkeadilan agar kesejakteraan dapat dinikmati oleh suluruh rakyat.
Dalam mewujudkan sistem perekonomian ini, kebijakan peningkatan peran koperasi, usaha mikro dan kecil merupakan suatu keniscayaan. Mengingat koperasi merupakan respresentatif wujud usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan sedangkan usaha mikro dan kecil (UMK) merupakan bagian terbesar dari seluruh pelaku usaha di Indonesia. Berdasarkan data BPS (2008) mencapai 51,22 juta unit usaha atau 99,91 % dari seluruh pelaku usaha nasional, menyerap tenaga kerja mencapai 87,64 juta (93,56%) dari total tenaga kerja Indonesia dan menyumbangkan kontribusi terhadap pembentukan Product Domestic Brutto (PDB) sebesar Rp 1,979 triliun (42,13 %).
Melihat kondisi, peran dan kontribusi UMK termasuk koperasi dalam perekonomian Indonesia berbagai kalangan masyarakat berharap agar Koperasi dan UMK menjadi pondasi yang kuat bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Dasar pemikirannya adalah cukup rasional karena perekonomian berbasis Koperasi dan UMK sesungguhnya lebih baik karena Koperasi UMK terbukti mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap krisis, lebih banyak menyerap tenaga kerja, lebih adil dan lebih memberikan kesejahteraan kepada rakyat kebanyakan. Oleh karenanya, pemberdayaan dan pengembangan Koperasi dan UMK merupakan kebijakan yang strategis dalam penajaman kebijakan ekonomi kerakyatan.
Membangun Koperasi dan UMK Dalam Kerangka Sistem Perekonomian Nasional
Pelaku usaha di Indonesia sebagaimana UU No. 20/2008 dikelompokkan berdasarkan jumlah aset dan omzet usaha yaitu usaha mikro : aset <> Rp 50 juta s.d. Rp 500 juta dan omzet > 300 juta s.d 2,5 milyar dan usaha menengah : aset > Rp 500 juta s.d. Rp 10 milyar dan omzet > Rp 2,5 milyar s.d Rp 50 milyar sedangkan yang memiliki aset melebihi Rp 10 milyar dan omzet melebihi Rp 50 milyar disebut usaha besar.
Dalam prektek perekonomian Indonesia yang berjalan saat ini, keberadaan para pelaku usaha dapat digambarkan sebagai sebuah rumah perekonomian Indonesia. Usaha mikro dan kecil merupakan pondasi perekonomian nasional (ekonomi kerakyatan) mengingat jumlahnya mencapai 51,22 juta (99,91%) pelaku usaha dan menyerap 87,64 juta (93,56%) dari total tenaga kerja Indonesia. Sedangkan usaha menengah yang jumlahnya mencapai 39,66 ribu (0,08%) merupakan pilar dan usaha besar yang jumlahnya mencapai 4,37 ribu (0,01%) merupakan atap dari bangun perekonomian nasional.
Sistem ekonomi kerakyatan menempatkan usaha mikro dan kecil sebagai unsur utama pembangunan ekonomi Indonesia, hal ini disebabkan karena sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan kehidupannya melalui usaha pada segmen tersebut. Usaha mikro dan kecil merupakan usaha yang menguasai hajad hidup sebagian besar bangsa Indonesia dan merupakan penggerak ekonomi lokal diseluruh pelosok negeri baik di perkotaan maupun perdesaan, sehingga sudah selayaknya usaha mikro dan kecil dijadikan pondasi pembangunan perekonomian nasional. Untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, maka pondasi dalam bangunan perekonomian Indonesia memiliki peranan penting untuk menjamin kestabilan pembangunan terhadap beban ekonomi dan pengaruh luar seperti: krisis ekonomi, bencana akibat gangguan alam, dan lain-lain. Agar tidak terjadi kegagalan dalam pembangunan, maka pondasi bangunan harus kuat dan stabilitas sehingga pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro dan kecil merupakan suatu keharusan dalam pembangunan perekonomian Indonesia
Dalam perekonomian nasional usaha menengah mempunyai peran dalam pembangunan economic linkage antara wilayah nasional dan sub regional. Dengan dukungan permodalan yang dimiliki, pelaku usaha dalam segmen ini mempunyai kemampuan gerak yang leluasa untuk melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Dalam peran tersebut usaha menengah merupakan pilar yang menghubungkan daearah-daerah dan kepulauan nusantara dalam suatu bangunan ekonomi nasional. Agar pilar-pilar perekonomian nasional ini dapat berdiri kokoh maka pengembangan usaha menengah sangat penting untuk menghubungkan anta aktivitas ekonomi lokal dan ekonomi regional antar daerah di nusantara. Untuk mengembangkan usaha menengah menjadi kokoh dalam perekonimian nasional dan dimiliki oleh masyarakat maka pengembangan usaha meneh diarahkan pada perusahaan go public.
Pengembangan perekonomian nasional tidak dapat lepas dari peran usaha besar yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menggerakkan ekonomi nasional dan ekonomi internasonal melalui pengembangan sektor-sektor strategis potensi nasional dan perdagangan internasional yang memiliki kontribusi besar dalam menghasilkan pendapatan nasional. Di era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, peran usaha besar nasional sangat dibutuhkan untuk mengimbangi dan menghadapi pasar regiona dan internasional yang sebagian besar masih dikuasai oleh asing. Untuk itu, usaha besar yang merupakan atap bagunan perekonomian nasional seyogyanya dapat melindungi para pelaku ekonomi nasional lain dari pengaruh perekonomian global. Hal ini dapat dilakuakan melalui sistem kemitraan yang sinergis, serasi dan seimbang antara pelaku usaha di Indonesia.
Sebagaimana uraian sebelumnya diatas, dapat dilihat bahwa secara eksisting-defakto dan mengacu pada undang-undang dan peraturan lainnya system perekonomian nasional perlu di prioritaskan pada pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi. agar bangunan ekonomi nasional dapat berdiri kokoh menghadapi persaingan bebas dan krisis yang melanda perekonomian dunia. Jika usaha besar dan menengah berkembang pesat maka usaha mikro dan kecil harus dikembangkan secara bersinergis.
Pada saat krisis ekonomi tahun 2008 yang menimpa pasar modal dan perbankan internasional, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijkan untuk usaha menengah dan besar dengan memberikan stimulus fiskal dan perpajakan dan usaha mikro dan kecil dengan program nasional pemberdayaan masyarakat dan kredit usaha rakyat.
Sebagimana rumah, ketika menghadi gangguan akibat hujan besar, angin topan atau pun gempa, jika rumah memiliki pondasi yang kuat dan pilar yang kokoh, maka yang sering mengalami kerusakan adalah atap rumah. Namun jika pondasi dan pilar rumah tidak kuat dan kokoh maka bangunan rumah tersebut kemungkinan akan hancur. Ketika terjadi krisis keuangan global yang melanda pasar modal dan perbankan internasional, usaha mikro dan kecil merupakan pondasi yang cukup kuat, krisis tersebut ternyata lebih mempengaruhi usaha besar dan menengah yang harus segera diberikan pertolongan agar tidak merusak bagian bangun ekonomi lainnya.
Mengingat peran yang strategis UMK termasuk koperasi dalam perekonomian nasional maka, membangun Koperasi dan UMK yang tangguh harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan perekonomian Indonesia dalam rangka mencapai tujuan nasional. Koperasi dan UMK menempati posisi strategis untuk mempercepat perubahan struktural dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Pola Pembiayaan Dalam Kerangka Perekonomian Nasional
Salah satu unsur penting dalam melaksanakan suatu usaha adalah permodalan. Kemampuan permodalan para pelaku usaha sangat mempengaruhi kapabilitas dan kapasitas usaha, untuk itu pembiayaan pihak ketiga dibutuhkan untuk membatu kebutuhan permodalan dalam rangka penyelesaian suatu pekerjaan atau pengembangan usaha. Permasalahan pembiayaan merupakan salah satu hal yang paling menonjol dikeluhkan oleh Koperasi dan usaha mikro dan kecil dalam pemenuhan modal kerja dan pengembangan usaha, hal tersebut antara lain disebabkan oleh bebrapa permasalahan antara lain : a) Terbatasnya fasilitasi kredit mikro bagi UMKM dari perbankan; b) Prosedur dan persyaratan kredit perbankan relatif rumit dan birokratis; c) Ketidakmampuan dalam menyediakan jaminan tambahan; d) Tingginya bunga kredit perbankan terutama untuk modal investasi; dan e) Terbatasnyan jangkauan pelayanan kredit perbankan di daerah.
Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini sumber pembiayaan usaha dalam bangun perekonomian nasioanal adalah perbankan yang sudah tumbuh dan berkembang sejak jaman kemerdekaan Sebagian besar para pelaku usaha ketika mengembangkan usahanya dengan mengharapkan pinjaman pembiayaan atau kredit dari perbankan. Untuk itu dalam penggambaran akses pembiayaan berdasarkan kondisi eksisting yang ada disegmentasikan berdasarkan kelayakan usaha dan kapasitas usaha dalam memenuhi persyaratan perbankan dalam menyalurkan pembiayaan/kredit.
Secara umum para pelaku usaha dapat dikelompokkan dalam kondisi : 1) belum layak usaha dan belum bankable; 2) layak usaha dan belum bankable; 3) layak usaha dan bankable; dan 4) layak go public di pasar modal. Dengan asumsi modal sendiri sebesar 40% dan kebutuhan dukungan permodalan sebesar 60%, maka perkiraan kebutuhan permodalan dan pola pembiayaan KUMKM dapat dijelaskan berdasarkan klaster sebagai berikut :
Klaster 1 adalah kelompok usaha mikro yang kondisinya belum layak usaha dan belum bankable sehingga mempunyai resiko tinggi dalam pengembalian modal yang diberikan. Usaha mikro dalam klaster ini diperkirakan sebanyak ± 70% atau 35,49 juta unit, sehingga dibutuhkan modal sebesar Rp. 212,93 trilyun.
Dalam klaster ini kebijakan dan pola pembiayaan yang perlu diupayakan adalah perlindungan dan pemberdayaan masyarakat dapat menjalankan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, antara lain dilakukan melalui program PNPM – Mandiri, penyediaan bantuan modal, model pembiayaan bantuan sosial atau hibah, penyediaan bantuan teknis dalam bentuk pelatihan dan pendampingan.
Klaster 2 dan 3, adalah kelompok usaha mikro dan kecil yang layak usaha dan belum bankable dan mempunyai resiko rendah dalam pengembalian modal yang diberikan. Usaha mikro dalam klaster ini diperkirakan sebanyak ± 30% atau 15,21 juta unit, sehingga dibutuhkan modal ebesar Rp. 91,26 trilyun. Sedangkan usaha kecil dalam klaster ini diperkirakan sebanyak ± 40% atau 208,9 ribu unit, sehingga dibutuhkan modal sebesar Rp. 12,48 trilyun.
Dalam klaster ini kebijakan dan pola pembiayaan yang perlu diupayakan adalah perlindungan dan pemberdayaan agar usaha yang dijalankan dapat mandiri dan memiliki kesiapan dalam menghadapi persaingan pasar, antara lain dilakukan melalui program Kredit Usaha Rakyat (PNPM – Mandiri), penurunan suku bunga kredit, mengembangkan lembaga penjaminan mendorong tumbuh dan berkembangnya Perusahaan Pembiayaan dan Modal Ventura serta pendirian Bank Usaha Mikro dan Kecil (Bank UMK).
Klaster 4 dan 5, adalah kelompok usaha kecil dan menengah yang layak usaha dan bankable serta mempunyai resiko rendah dalam pengembalian modal yang diberikan. Usaha kecil dalam klaster ini diperkirakan sebanyak ± 60% atau 23,80 ribu unit, sehingga dibutuhkan modal sebesar Rp. 18,73 trilyun.. Sedangkan usaha kecil dalam klaster ini diperkirakan sebanyak ± 90% atau 35,69 ribu unit, sehingga dibutuhkan modal sebesar Rp. 21,41 trilyun.
Klaster 6, adalah kelompok usaha menengah yang layak usaha dan bankable serta layak go public. Usaha kecil dalam klaster ini diperkirakan sebanyak usaha menengah dalam klaster ini diperkirakan sebanyak ± 10% atau 4 ribu unit, sehingga dibutuhkan modal sebesar Rp. 2,38 trilyun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar