Kamis, 30 Juli 2009

POLA PEMBIAYAAN KOPERASI DAN UMKM DALAM SISTEM PEREKONOMIAN NASIONAL

Praktek Perekonomian Indonesia

Dewasa ini pembahasan tentang sistem perekonomian Indonesia begitu ramai diperbincangkan. Baik pada tatanan teori makro dalam konteks ekonomi negara ataupun tingkat mikro yang paling sederhana yaitu ekonomi rumah-tangga. Kemunculan suatu sistem ekonomi dalam penyelenggaraan negara, akan selalu terkait dengan sistem ekonomi yang muncul sebelumnya pada setiap priode pemerintahan yang menjalankan proses penyelenggaraan negara. Begitu pula dengan idiologi perekonomian Indonesia yang tak lepas dari pengaruh kapitalisme dan sosialisme yang berkembang pada setiap priode pemerintahan.

Walaupun dalam tatanan konstitusional diamanatkan sistem ekonomi Indonesia adalah ekonomi kerakyatan atau terkadang disebut dengan ekonomi pancasila, namun dalam tatanan prektek perekonomian Indonesia yang berjalan saat ini terdapat tiga sistem ekonomi yaitu ekonomi kerakyatan, ekonomi liberal dan ekonomi kemitraan.

Sistem ekonomi kerakyatan diwujudkan dalam bentuk kebijakan dan program untuk mengurangi kemiskinan, perluasan kesempatan kerja, peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan dan peningkatan taraf hidup masyarakat melalui prinsip pemeratan pembangunan.

Sistem ekonomi liberal sebagai idilogi besar yang berkembang di dunia mau-tidak-mau akan tetap mempengaruhi Indonesia dalam memasuki perekonomian Internasional. Indonesia yang telah masuk dalam sistem perdagangan internasional dengan menandatangani berbagai perjanjian antara lain : AFTA, WTO dan APEC yang mengakibatkan perbatasan negara, arus barang, uang dan informasi bergerak lebih leluasa sebagai bagian dari pasar bebas. Di Indonesia pun saat ini menjamur berbagai perusahaan asing yang mengembangkan usahanya di Indonesia baik melalui pasar modal maupun secara langsung mendirikan anak perusahaannya di Indonesia.Selain itu, system ini juga ditandai dengan adanya perusahaan perusahaan publik milik negara yang go public.

Diantara praktek ekonomi kerakyatan dan ekonomi liberal terdapat sistem ekonomi kemitraan yang merupakan jalinan yang menjembatani pelaksanaan kedua sistem tersebut. Praktek sistem ini adalah adanya kerjasama antara usaha-usaha berbasis kelompok seperti koperasi yang bermitra dengan perusahaan-perusahaan besar antara lain melalui sub kontrak, wara laba dan inti plasma di sektor agribisnis. Melalui kemitraan tersebut kerjasama yang saling menguntungkan dan berkeadilan berusaha diwujudkan agar tidak terjadi ketimpangan akibat pengaruh sistem ekonomi liberal yang menumbuhkan penguasaan atas sumber daya ekonomi pada segelintir pengusaha melalui penguasaan kepemilikan saham..

Dalam kerangka pembangunan nasional tentunya ketiga system tersebut pada intinya mengarah pada satu jujuan yaitu bagaiman kesejahteraan orang perorang ataupun masyarakat dapat meningkat melalui peningkatan pendapatan dengan cara meningkatkan produksi dan jasa pada setiap perusahaan atau usaha dalam berbagai tingkatan.



Mencermati Sistem Perekonomian Nasional

Mencermati praktek sistem perekonomian di Indonesia menunjukan bahwa sistem perekonomian nasional menerapkan sistem perekonomian campuran antara ekonomi kerakyatan, ekonomi liberal dan kemitraan. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan dimana ketiga sistem ekonomi tersebut secara bersamaan dilaksanakan oleh para pelaku usaha di Indonesia.

Namun dilihat dari kondisi eksisting dan praktek yang dihadapi sebagian besar terkait pada para pelaku usaha sekala mikro dan kecil yang umumnya juga tergolong dalam usaha berbasis kelompok, termasuk koperasi. Bertitik tolak dari tafsir Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 serta Tap MPR No. XVI/MPR/1998 maka secara konstitusional sistem perekonomian nasional menempatkan perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajad hidup orang banyak dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Subtansi dari pelaksanaan sistem ekonomi ini secara garis besar mencangkup partisipasi, penguasaan dan distribusi. Partisipasi, di implementasikan melalui peran seluruh anggota masyarakat dalam mewujudkan perekonomian nasional dengan melaksanakan pemberdayaan dan pengembangan seluruh potensi pelaku usaha untuk terlibat aktif dalam pembangunan perekonomian Indonesia, masyarakat tidak hanya menjadidi objek tetapi juga subjek dalam pembangunan. Penguasaan, diimplementasikan melalui peningkatan aktivitas produksi baik barang maupun jasa yang menguasai hajad hidup orang dibawah penguasaan pemerintah. Negara wajib mewujudkan iklim usaha dan perlindungan bagi bagian terbesar pelaku usaha di Indonesia. Sedangkan distribusi, diimplementasikan melalui proses dan hasil produksi yang terdistribusi secar berkeadilan agar kesejakteraan dapat dinikmati oleh suluruh rakyat.

Dalam mewujudkan sistem perekonomian ini, kebijakan peningkatan peran koperasi, usaha mikro dan kecil merupakan suatu keniscayaan. Mengingat koperasi merupakan respresentatif wujud usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan sedangkan usaha mikro dan kecil (UMK) merupakan bagian terbesar dari seluruh pelaku usaha di Indonesia. Berdasarkan data BPS (2008) mencapai 51,22 juta unit usaha atau 99,91 % dari seluruh pelaku usaha nasional, menyerap tenaga kerja mencapai 87,64 juta (93,56%) dari total tenaga kerja Indonesia dan menyumbangkan kontribusi terhadap pembentukan Product Domestic Brutto (PDB) sebesar Rp 1,979 triliun (42,13 %).

Melihat kondisi, peran dan kontribusi UMK termasuk koperasi dalam perekonomian Indonesia berbagai kalangan masyarakat berharap agar Koperasi dan UMK menjadi pondasi yang kuat bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Dasar pemikirannya adalah cukup rasional karena perekonomian berbasis Koperasi dan UMK sesungguhnya lebih baik karena Koperasi UMK terbukti mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap krisis, lebih banyak menyerap tenaga kerja, lebih adil dan lebih memberikan kesejahteraan kepada rakyat kebanyakan. Oleh karenanya, pemberdayaan dan pengembangan Koperasi dan UMK merupakan kebijakan yang strategis dalam penajaman kebijakan ekonomi kerakyatan.


Membangun Koperasi dan UMK Dalam Kerangka Sistem Perekonomian Nasional

Pelaku usaha di Indonesia sebagaimana UU No. 20/2008 dikelompokkan berdasarkan jumlah aset dan omzet usaha yaitu usaha mikro : aset <> Rp 50 juta s.d. Rp 500 juta dan omzet > 300 juta s.d 2,5 milyar dan usaha menengah : aset > Rp 500 juta s.d. Rp 10 milyar dan omzet > Rp 2,5 milyar s.d Rp 50 milyar sedangkan yang memiliki aset melebihi Rp 10 milyar dan omzet melebihi Rp 50 milyar disebut usaha besar.

Dalam prektek perekonomian Indonesia yang berjalan saat ini, keberadaan para pelaku usaha dapat digambarkan sebagai sebuah rumah perekonomian Indonesia. Usaha mikro dan kecil merupakan pondasi perekonomian nasional (ekonomi kerakyatan) mengingat jumlahnya mencapai 51,22 juta (99,91%) pelaku usaha dan menyerap 87,64 juta (93,56%) dari total tenaga kerja Indonesia. Sedangkan usaha menengah yang jumlahnya mencapai 39,66 ribu (0,08%) merupakan pilar dan usaha besar yang jumlahnya mencapai 4,37 ribu (0,01%) merupakan atap dari bangun perekonomian nasional.

Sistem ekonomi kerakyatan menempatkan usaha mikro dan kecil sebagai unsur utama pembangunan ekonomi Indonesia, hal ini disebabkan karena sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan kehidupannya melalui usaha pada segmen tersebut. Usaha mikro dan kecil merupakan usaha yang menguasai hajad hidup sebagian besar bangsa Indonesia dan merupakan penggerak ekonomi lokal diseluruh pelosok negeri baik di perkotaan maupun perdesaan, sehingga sudah selayaknya usaha mikro dan kecil dijadikan pondasi pembangunan perekonomian nasional. Untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, maka pondasi dalam bangunan perekonomian Indonesia memiliki peranan penting untuk menjamin kestabilan pembangunan terhadap beban ekonomi dan pengaruh luar seperti: krisis ekonomi, bencana akibat gangguan alam, dan lain-lain. Agar tidak terjadi kegagalan dalam pembangunan, maka pondasi bangunan harus kuat dan stabilitas sehingga pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro dan kecil merupakan suatu keharusan dalam pembangunan perekonomian Indonesia

Dalam perekonomian nasional usaha menengah mempunyai peran dalam pembangunan economic linkage antara wilayah nasional dan sub regional. Dengan dukungan permodalan yang dimiliki, pelaku usaha dalam segmen ini mempunyai kemampuan gerak yang leluasa untuk melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Dalam peran tersebut usaha menengah merupakan pilar yang menghubungkan daearah-daerah dan kepulauan nusantara dalam suatu bangunan ekonomi nasional. Agar pilar-pilar perekonomian nasional ini dapat berdiri kokoh maka pengembangan usaha menengah sangat penting untuk menghubungkan anta aktivitas ekonomi lokal dan ekonomi regional antar daerah di nusantara. Untuk mengembangkan usaha menengah menjadi kokoh dalam perekonimian nasional dan dimiliki oleh masyarakat maka pengembangan usaha meneh diarahkan pada perusahaan go public.

Pengembangan perekonomian nasional tidak dapat lepas dari peran usaha besar yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menggerakkan ekonomi nasional dan ekonomi internasonal melalui pengembangan sektor-sektor strategis potensi nasional dan perdagangan internasional yang memiliki kontribusi besar dalam menghasilkan pendapatan nasional. Di era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, peran usaha besar nasional sangat dibutuhkan untuk mengimbangi dan menghadapi pasar regiona dan internasional yang sebagian besar masih dikuasai oleh asing. Untuk itu, usaha besar yang merupakan atap bagunan perekonomian nasional seyogyanya dapat melindungi para pelaku ekonomi nasional lain dari pengaruh perekonomian global. Hal ini dapat dilakuakan melalui sistem kemitraan yang sinergis, serasi dan seimbang antara pelaku usaha di Indonesia.

Sebagaimana uraian sebelumnya diatas, dapat dilihat bahwa secara eksisting-defakto dan mengacu pada undang-undang dan peraturan lainnya system perekonomian nasional perlu di prioritaskan pada pemberdayaan dan pengembangan usaha mikro dan kecil termasuk koperasi. agar bangunan ekonomi nasional dapat berdiri kokoh menghadapi persaingan bebas dan krisis yang melanda perekonomian dunia. Jika usaha besar dan menengah berkembang pesat maka usaha mikro dan kecil harus dikembangkan secara bersinergis.

Pada saat krisis ekonomi tahun 2008 yang menimpa pasar modal dan perbankan internasional, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijkan untuk usaha menengah dan besar dengan memberikan stimulus fiskal dan perpajakan dan usaha mikro dan kecil dengan program nasional pemberdayaan masyarakat dan kredit usaha rakyat.

Sebagimana rumah, ketika menghadi gangguan akibat hujan besar, angin topan atau pun gempa, jika rumah memiliki pondasi yang kuat dan pilar yang kokoh, maka yang sering mengalami kerusakan adalah atap rumah. Namun jika pondasi dan pilar rumah tidak kuat dan kokoh maka bangunan rumah tersebut kemungkinan akan hancur. Ketika terjadi krisis keuangan global yang melanda pasar modal dan perbankan internasional, usaha mikro dan kecil merupakan pondasi yang cukup kuat, krisis tersebut ternyata lebih mempengaruhi usaha besar dan menengah yang harus segera diberikan pertolongan agar tidak merusak bagian bangun ekonomi lainnya.

Mengingat peran yang strategis UMK termasuk koperasi dalam perekonomian nasional maka, membangun Koperasi dan UMK yang tangguh harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan perekonomian Indonesia dalam rangka mencapai tujuan nasional. Koperasi dan UMK menempati posisi strategis untuk mempercepat perubahan struktural dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.


Pola Pembiayaan Dalam Kerangka Perekonomian Nasional

Salah satu unsur penting dalam melaksanakan suatu usaha adalah permodalan. Kemampuan permodalan para pelaku usaha sangat mempengaruhi kapabilitas dan kapasitas usaha, untuk itu pembiayaan pihak ketiga dibutuhkan untuk membatu kebutuhan permodalan dalam rangka penyelesaian suatu pekerjaan atau pengembangan usaha. Permasalahan pembiayaan merupakan salah satu hal yang paling menonjol dikeluhkan oleh Koperasi dan usaha mikro dan kecil dalam pemenuhan modal kerja dan pengembangan usaha, hal tersebut antara lain disebabkan oleh bebrapa permasalahan antara lain : a) Terbatasnya fasilitasi kredit mikro bagi UMKM dari perbankan; b) Prosedur dan persyaratan kredit perbankan relatif rumit dan birokratis; c) Ketidakmampuan dalam menyediakan jaminan tambahan; d) Tingginya bunga kredit perbankan terutama untuk modal investasi; dan e) Terbatasnyan jangkauan pelayanan kredit perbankan di daerah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini sumber pembiayaan usaha dalam bangun perekonomian nasioanal adalah perbankan yang sudah tumbuh dan berkembang sejak jaman kemerdekaan Sebagian besar para pelaku usaha ketika mengembangkan usahanya dengan mengharapkan pinjaman pembiayaan atau kredit dari perbankan. Untuk itu dalam penggambaran akses pembiayaan berdasarkan kondisi eksisting yang ada disegmentasikan berdasarkan kelayakan usaha dan kapasitas usaha dalam memenuhi persyaratan perbankan dalam menyalurkan pembiayaan/kredit.

Secara umum para pelaku usaha dapat dikelompokkan dalam kondisi : 1) belum layak usaha dan belum bankable; 2) layak usaha dan belum bankable; 3) layak usaha dan bankable; dan 4) layak go public di pasar modal. Dengan asumsi modal sendiri sebesar 40% dan kebutuhan dukungan permodalan sebesar 60%, maka perkiraan kebutuhan permodalan dan pola pembiayaan KUMKM dapat dijelaskan berdasarkan klaster sebagai berikut :

Klaster 1 adalah kelompok usaha mikro yang kondisinya belum layak usaha dan belum bankable sehingga mempunyai resiko tinggi dalam pengembalian modal yang diberikan. Usaha mikro dalam klaster ini diperkirakan sebanyak ± 70% atau 35,49 juta unit, sehingga dibutuhkan modal sebesar Rp. 212,93 trilyun.

Dalam klaster ini kebijakan dan pola pembiayaan yang perlu diupayakan adalah perlindungan dan pemberdayaan masyarakat dapat menjalankan usaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, antara lain dilakukan melalui program PNPM – Mandiri, penyediaan bantuan modal, model pembiayaan bantuan sosial atau hibah, penyediaan bantuan teknis dalam bentuk pelatihan dan pendampingan.

Klaster 2 dan 3, adalah kelompok usaha mikro dan kecil yang layak usaha dan belum bankable dan mempunyai resiko rendah dalam pengembalian modal yang diberikan. Usaha mikro dalam klaster ini diperkirakan sebanyak ± 30% atau 15,21 juta unit, sehingga dibutuhkan modal ebesar Rp. 91,26 trilyun. Sedangkan usaha kecil dalam klaster ini diperkirakan sebanyak ± 40% atau 208,9 ribu unit, sehingga dibutuhkan modal sebesar Rp. 12,48 trilyun.

Dalam klaster ini kebijakan dan pola pembiayaan yang perlu diupayakan adalah perlindungan dan pemberdayaan agar usaha yang dijalankan dapat mandiri dan memiliki kesiapan dalam menghadapi persaingan pasar, antara lain dilakukan melalui program Kredit Usaha Rakyat (PNPM – Mandiri), penurunan suku bunga kredit, mengembangkan lembaga penjaminan mendorong tumbuh dan berkembangnya Perusahaan Pembiayaan dan Modal Ventura serta pendirian Bank Usaha Mikro dan Kecil (Bank UMK).

Klaster 4 dan 5, adalah kelompok usaha kecil dan menengah yang layak usaha dan bankable serta mempunyai resiko rendah dalam pengembalian modal yang diberikan. Usaha kecil dalam klaster ini diperkirakan sebanyak ± 60% atau 23,80 ribu unit, sehingga dibutuhkan modal sebesar Rp. 18,73 trilyun.. Sedangkan usaha kecil dalam klaster ini diperkirakan sebanyak ± 90% atau 35,69 ribu unit, sehingga dibutuhkan modal sebesar Rp. 21,41 trilyun.
Klaster 6, adalah kelompok usaha menengah yang layak usaha dan bankable serta layak go public. Usaha kecil dalam klaster ini diperkirakan sebanyak usaha menengah dalam klaster ini diperkirakan sebanyak ± 10% atau 4 ribu unit, sehingga dibutuhkan modal sebesar Rp. 2,38 trilyun

Selengkapnya...

TANTANGAN KEMENTERIAN NEGARA KOPERASI DAN UKM DALAM PEMBERDAYAAN DAN PENGEMBANGAN KOPERASI DAN UMKM

1. Latar Belakang


Secara legal formal sistem perekonomian Indonesia disusun berdasarkan pada UUD 1945 pada Pasal 33 ayat (1) yang berbunyi : ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan” dan ayat (4) amandemen yang menyebutkan : ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.


Implementasi pasal 33 UUD’45 sepanjang perjalanan bangsa telah mengalami pasang surut sesuai dengan persepsi, interpretasi dan kondisi politik pembangunan bangsa. Pada era orde baru menggunakan pendekatan akselerasi pertumbuhan ekonomi yang diintegrasikan dengan keamanan dan pemerataan, selanjutnya dikenal dengan trilogi pembangunan. Kebijakan ini melahirkan perusahaan – perusahaan besar dan konglomerasi yang bergerak dalam berbagai sektor usaha dan tidak sedikit diantara mereka menguasai aktivitas usaha dari hulu hingga hilir.

Di sisi lain usaha mikro dan kecil menegah (UMK) yang merupakan representasi dari pelaku ekonomi rakyat, berdasarkan data BPS (2008) jumlah usaha mikro 50,7 juta (98,90%) dan usaha kecil 520,2 ribu (1,01%) sehingga total UMKM mencapai 51,22 juta unit usaha atau 99,91 % dari seluruh pelaku usaha nasional, sedangkan usaha menengah jumlahnya 39,66 ribu (0,08%) dan usaha besar 4,37 ribu (0,01%). Realita menunjukkan bahwa perlakuan dan perhatian pemerintah tidak sebanding dengan fasilitas dan kemudahan yang diberikan kepada para pelaku usaha besar. Oleh karena itu kesan yang muncul adalah marjinalisasi terhadap UMK dan berdasarkan perbandingan jumlah UMK dan jumah usaha besar maka kontribusi UMK terhadap pembentukan Product Domestic Brutto (PDB) menjadi rendah, dimana 51,22 juta UMK miliki kontribusi sebesar Rp 1,979 triliun (42,13 %) dan 4,37 ribu usaha besar miliki kontribusi sebesar Rp 2,087 triliun (44,44%).

Krisis ekonomi menjadi momentum penting berbaliknya ayunan pendulum dari dominasi sektor usaha besar menuju meningkatnya peran UMK. Sektor UMK ternyata lebih tangguh menghadapi krisis dan mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia serta menjadi dinamisator pertumbuhan ekonomi pasca krisis ekonomi. UMK juga merupakan sumber kehidupan sosial dan ekonomi dari sebagian besar rakyat Indonesia yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar.

Salah satu peran penting dari sektor UMK dalam perekonomian nasional adalah kemampuannya menciptakan lapangan kerja yang sangat besar mencapai 87,64 juta (93,56%) dari total pelaku usaha dan berdasarkan jumlah unit usaha dan tenaga kerja UMK maka pelaku usaha merupakan pelaku usaha yang mandiri yang dilaksanakan oleh 1-2 orang tenaga kerja per unit (tenaga kerja/unit usaha UMK = 1,7 orang/unit usaha). Peran ini bisa dipastikan akan memiliki nilai strategis manakala masalahnya dikaitkan dengan persoalan cukup pelik yang sejak lama dihadapi bangsa Indonesia dan tidak pernah kunjung terselesaikan oleh pemerintah yakni pengangguran dan kemiskinan. Oleh karenanya, apabila seluruh komponen bangsa utamanya pemerintah tidak melakukan upaya yang sungguh-sungguh dalam mengembangkan sektor UMK, maka dapat dipastikan akan menjadi permasalahan sosial yang serius menjadi beban pemerintah dan masyarakat Indonesia.

Mengatasi pengangguran dan kemiskinan berdasarkan pengalaman panjang selama (orde baru) ini ternyata tidak dapat diselesaikan semata-mata hanya melalui pendekatan pertumbuhan ekonomi yang disandarkan pada para pelaku usaha besar. Pengalaman menunjukkan bahwa meningkatnya angka pertumbuhan ternyata tidak dengan serta merta mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Hal ini berarti tidak dapat mengandalkan usaha besar saja dalam mendongkrak angka pertumbuhan yang diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja, dan tidak dapat dijadikan sebagai pilihan satu-satunya dalam mengatasi jumlah pengangguran dan kemiskinan yang terus bertambah setiap tahunnya.

Melihat latar belakang tersebut di atas, timbul permasalahan bahwa UMK dan Koperasi yang secara kuantitas sangat besar yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap ekonomi nasional, tetapi kualitasnya masih kurang memadai. Oleh karena itu harus diberdayakan dan dikembangkan menjadi UMK dan Koperasi yang tangguh agar mampu mengentaskan kemiskinan dan memperluas lapangan pekerjaan yang pada gilirannya akan dapat memantapkan perekonomian nasional.


2. Pemberdayaan Koperasi dan UMKM


Melihat kondisi, peran dan kontribusi UMK dalam perekonomian Indonesia berbagai kalangan masyarakat berharap UMK menjadi pondasi yang kuat bagi pembangunan ekonomi Indonesia. Dasar pemikirannya adalah cukup rasional karena perekonomian berbasis UMK sesungguhnya lebih baik karena UMK terbukti mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap krisis, lebih banyak menyerap tenaga kerja, lebih adil dan lebih memberikan kesejahteraan kepada rakyat kecil. Munculnya pemikiran seperti itu setidak-tidaknya menjadikan sektor UMK sebagai tumpuan harapan masa depan terutama untuk memecahkan 2 (dua) masalah besar bangsa yakni pengangguran dan kemiskinan. Disamping itu, terdapat keunggulan lain dari sektor UMK ini yakni bahwa pelaku usahanya tidak hanya besar dari segi jumlah (kwantitas) karena tersebar diberbagai wilayah perdesaan hingga perkotaan dengan beragam sektor usaha, akan tetapi juga terbukti mampu memberikan penghidupan yang layak bagi orang-orang yang berkiprah didalamnya beserta dengan keluarganya.

Hal senada diungkapkan Presiden RI bahwa Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah merupakan institusi yang paling efektif memerangi kemiskinan.[1] Sementara itu Haryono Suyono memiliki pandangan bahwa sektor UMK yang bergerak dalam berbagai horizon kegiatan ekonomi khususnya di bidang manufaktur dinilai sebagai sektor terpenting dalam mengatasi pengangguran dan setengah pengangguran. Karena itu pengembangan sektor yang tersebar di seluruh negeri khususnya di perdesaan dinilai sangat baik dan strategis tidak saja untuk memperbesar lapangan kerja dan kesempatan usaha, tetapi sekaligus pula mendorong pembangunan daerah dan kawasan perdesaan di Indonesia.[2] Berdasarkan kajian dan beberapa literature menyebutkan bahwa peran UMK yang mempunyai kontribusi besar dalam menyerap tenaga kerja ternyata juga dialami di negara-negara maju yang tergabung dalam kelompok Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin.[3]

Dalam menumbuhkan kemandirian UMK, dapat diberdayakan untuk mengembangkan melalui koperasi. Sesuai dengan azasnya yaitu kebersamaan dan kerjasama, melalui koperasi, para pelaku usaha (mikro dan kecil) yang bergerak pada usaha-usaha produksi, secara bersama-sama dapat menjual produk yang dihasilkan, disamping membeli input (bahan baku) dan prasarana (alat/mesin) secara bersama-sama pula. Dalam kebersamaan itu, akan terjadi penguatan kemampuan bersaing, baik dalam hal penawaran maupun permintaan. Dengan kebersamaan itu pula, akan dapat diwujudkan economic of scale serta economic of scope yang menekan besarnya komponen biaya seperti biaya transportasi atau biaya-biaya lainnya, sehingga dapat dicapai efisiensi teknis dan ekonomis dalam kegiatan usaha yang dijalankan para anggota koperasi. Demikian pula halnya dalam aspek pembiayaan dan permodalan, para pelaku usaha dapat bergabung dalam wadah koperasi untuk membangun lembaga keuangan sendiri yang mampu memberikan pelayanan pembiayaan dan permodalan. Koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah merupakan salah satu pilar ekonomi yang kinerjanya terus menerus mengalami pasang dan surut. Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala usaha mikro dan kecil, karena itu perlu dukungan pemberdayaan dan pengembangan khususnya dalam rangka mendorong praktek koperasi yang sehat, tangguh dan mandiri.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa potensi dan kontribusi UMK dan koperasi dalam peningkatan pembangunan ekonomi nasional tidak perlu diragukan lagi. Ini juga sekaligus menegaskan bahwa UMK termasuk Koperasi merupakan sektor penting yang harus dibangun dan dikembangkan daerah dalam mencapai keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.

Namun demikian untuk meningkatkan peran Koperasi dan UMK ini ternyata masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat eksternal seperti misalnya antara lain : (1) Iklim usaha yang belum sepenuhnya kondusif, (2) Terbatasnya sarana dan prasarana usaha, (3) Terbatasnya akses pasar, (4) Produk UMK yang sifat lifetime-nya pendek, dan (5) Implikasi globalisasi ekonomi dan perdagangan bebas. Sedangkan yang bersifat internal antara lain adalah : (1) Kondisi obyektif SDM pelaku koperasi dan UMK yang masih rendah dan terbatas, (2) Manajemen yang tradisional, (3) Kurangnya permodalan, (4) Lemahnya jaringan usaha dan kemampuan penetrasi pasar.

Mengingat peran yang strategis koperasi dan UMK dalam perekonomian nasional maka, membangun UMK dan Koperasi yang tangguh harus menjadi bagian integral dari strategi pembangunan perekonomian Indonesia dalam rangka mencapai tujuan nasional. Koperasi dan UMK menempati posisi strategis untuk mempercepat perubahan struktural dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sebagai wadah kegiatan usaha bersama bagi produsen maupun konsumen, koperasi diharapkan berperan dalam meningkatkan posisi tawar dan efisiensi ekonomi rakyat, sekaligus turut memperbaiki kondisi persaingan usaha di pasar melalui dampak eksternalitas positif yang ditimbulkannya. Sementara itu Koperasi dan UMK berperan dalam memperluas penyediaan lapangan kerja, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi serta memeratakan peningkatan pendapatan. Bersamaan dengan itu adalah meningkatnya daya saing dan daya tahan ekonomi nasional.


3. Implementasi UU No. 39 tentang Kementerian Negara dalam rangka Pemberdayaan Koperasi dan UMKM


Berdasarkan Peraturan Presiden No. 9/2005, Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah dan menjalankan fungsi : 1) perumusan kebijakan nasional di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah; 2) koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah; 3) pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; 4) pengawasan atas pelaksanaan tugasnya; 5) penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidarig tugas dan fungsinya kepada Presiden; dan 6) menyelenggarakan fungsi teknis pelaksanaan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, berdasarkan Perpres No. 62/2005.


Dalam menjalankan fungsi perumusan kebijakan nasional di bidang koperasi dan usaha kecil dan menengah, Kementerian Negara Koperasi dan UKM telah menghasilkan beberapa rumusan kebijkan perundang-undangan seperti RUU Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang kini sudah menjadi UU No. 20/2008 tentang UMKM, serta telah menyiapkan RUU Perkoperasian yang saat ini sudah diagendakan dalam Prolegnas Tahun 2009. Namun dalam melaksanakan koordinasi kebijakan dan program pemberdayaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM mengalami beberapa kendala, antara lain adalah:

1. Peraturan Menteri yang dibuat Kementerian Negara Koperasi dan UKM tidak dapat mengikat beberapa pihak terkait untuk tunduk dalam kaitannya terhadap pemberdayaan koperasi dan UKM

2. Kementerian Negara Koperasi tidak dapat melaksanakan koordinasi kebijakan dan program pemberdayaan yang sinergis dalam rangka pemberdayaan Koperasi dan UMKM dengan instansi terkait.


Saat ini berdasarkan Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Kementerian yang menangani urusan Koperasi dan UMKM bertugas menyelenggarakan urusan pemerintahan untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan fungsi : (1) perumusan, penetapan dan pelaksanaan kebijakan dibidangnya; (2) Koordinasi dan singkronisasi pelaksanaan kebijakan dibidangnya; (3) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; (4) Pengawasan atas pelaksanaan tugas dibidangnya. Dengan demikian ruang gerak Kementerian Negara Koperasi dan UKM semakin terbatas, tidal lagi melaksanakan program-program yang selama ini dilakukan dalam rangka pemberdayaan Koperasi dan UKM.


Beberapa pihak menganggap UU No. 39/2008 prematur karena tidak singkron secara vertikal dengan UUD 1945 dan secara horizontal UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian dan UU No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Koperasi Koperasi dalam pasal 33 UUD 45 memang tidak ditunjukan secara eksplisit, namun asas kekeluargaan filosofinya menunjuk pada koperasi. Berdasarkan Pasal 9 dan Pasal 60 UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian, pemerintah melaksanakan urusan sebagai berikut : 1) pemberian badan hukum dan pengesahan akta pendirian koperasi; 2) menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang mendorong pertumbuhan serta pemasyarakatan koperasi; dan 3) memberikan bimbingan, kemudahan dan perlindungan kepada koperasi, dengan demikian Kementerian Negara Koperasi dan UKM merupakan kementerian teknis yang menangani pemberdayaan koperasi secara nasional walaupun saat ini melalui UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah urusan koperasi di Provinsi dan Kabupaten/Kota telah terdesentralisasi. Sedangkan dalam pemberdayaan usaha mikro belum diakomodir dalam UU No. 39/2008, hanya pelaksanaan bimbingan/pembinaan di daerah dan kegiatan teknis berskala nasional bagi Usaha Kecil dan Menengah yang dilaksanakan secara sektoral oleh Kementerian Teknis, yang menangani urusan pemerintahan yang tersurat dalam UUD’45. Padahal UU No. No. 20/2008 telah mengamanatkan keberadaan Usaha Mikro yang jumlahnya terbesar (98,90%) dari seluruh pelaku usaha nasional.


Dengan mengacu pada Pasal 8 UU No. 39/2008 memang mempersempit ruang gerak Kementerian Negara Koperasi dan UKM namun yang tidak dapat lagi melaksanakan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan kementerian di daerah dan pelaksanaan kegiatan teknis berskala nasional, namun dengan mengacu pada Pasal 18 UU No. 39/2008, maka Presiden mempunyai hak priogratif untuk mengubah Kementerian sebagaimana dimaksud, dengan mepertimbangkan :

a. efisiensi dan efektivitas;

b. perubahan dan/atau perkembangan tugas dan fungsi;

c. cakupan tugas dan proporsionalitas beban tugas;

d. kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan pelaksanaan tugas;

e. peningkatan kinerja dan beban kerja pemerintah;

f. kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam pemerintahan secara mandiri; dan/atau

g. kebutuhan penyesuaian peristilahan yangberkembang.


Berdasarkan kewenangan tersebut maka perubahan Kementerian Negara Koperasi dan UKM menjadi “Departemen” Koperasi, Usaha Mikro dan Kecil atau menjadi Kementerian Negara yang dapat melaksanakan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan kementerian di daerah dan pelaksanaan kegiatan teknis berskala nasional dapat dilaksanakan atas kehendak Presiden.



4. Kelayakan Pembentukan Kementerian Negara Koperasi dan UMKM


Berdasarkan UU No. 39/2008 dari aspek kelembagaan keberadaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM jelas masih ada, hanya terjadi penyederhanaan fungsi kelembagaan. Selama ini Kementerian Negara Koperasi dan UKM melaksanakan koordinasi dan kegiatan teknis dirubah hanya melaksanakan koordinasi dan singkronisasi kebijakan.


Namun berdasarkan kondisi dan kebutuhan saat ini, maka keberadaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM berdasarkan UU No. 39/2008 perlu disesuaikan atau tambahkan fungsinya untuk tetap menangani fungsi teknis pelaksanaan pemberdayaan dan pengembangan koperasi dan usaha mikro dan kecil, dan bahkan ditingkatkan kedudukannya menjadi lembaga seperti Departemen saat ini dengan pertimbangan sebagai berikut :


(1) Berdasarkan UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian, UU No. 22/1999 tentang Otonomi Derah dan UU No. 20/2008 tentang UMKM maka terdapat kebutuhan penanganan fungsi : 1) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi di daerah (pemerintah provinsi) atas urusan perkoperasian secara nasional; dan 2) kebutuhan penanganan urusan usaha mikro. Berdasarkan kebutuhan tersebut dan berdasarkan pasal 18 UU No. 39/2008, maka keberadaan Kementerian Negara Koperasi dan UKM dapat berubah atau ditambah fungsinya menyesuaikan dengan kebutuhan, sebagaimana juga saat ini kewenangan untuk menyelenggarakan fungsi teknis pelaksanaan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah berdasarkan Perpres No. 62/2005.


(2) Untuk keberlanjutan/kesinambungan, keserasian dan keterpaduan pelaksanaan tugas Kementerian Negara Koperasi dan UKM dalam menjalankan pembinaan, sufervisi monitoring dan evaluasi program teknis di daearah secara nasional, maka Fungsi Kementerian Koperasi dan UMK seyogyanya dapat lebih diperluas dan eraborasi lagi sehingga penjabaran dari pasal 5 ayat (3) dan 8 ayat (3) UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara dapat selaras dengan UU No. 25/1992 tentang Perkoperasian dan UU No. 20/2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.

*) Dibuat dalam rangka sebagai bahan masukan kepada Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM.

[1] Harian Kompas, Presiden : Bantulah dan Kembangkan Koperasi, 13 Juli 2008 hal. 2

[2] Suyono, Haryono, Prof. DR., Pemberdayaan Masyarakat : Mengantar Manusia Mandiri, Demokratis dan Berbudaya, Jakarta, Khanata Pustaka LP3ES, 2006, Hal : 239.

[3] Ibid, Hal : 241

Selengkapnya...

Apakah artikel pada blog ini dapat bermanfaat untuk anda

DOWNLOAD FILE

  • Statistik UMKM 2008 lihat download
  • Statistik Koperasi 2008 lihat download